Bariri-Sejumlah jurnalis di Kota Palu berkontribusi dalam menuliskan penghidupan masyarakat di Lembah Behoa Desa Bariri Kecamatan Lore Tengah Kabupaten Poso. Para Jurnalis itu memperoleh informasi dari masyarakat setempat yang kemudian dituangkan dalam tulisan selanjutnya di publikasikan di media dimana jurnalis bekerja.
Basri seorang jurnalis senior photo dari Kantor Berita Antara yang menceritakan tentang kopi di Lembah Behoa yang dikelola oleh masyarakat. Tanaman kopi itu membuat pikirannya di sisa tempuh menuju Desa Bariri, tempat di gelarnya Festival Tampo Lore jadi penuh harap. Pasti ada kopi setempat yang bisa dinikmati dalam gelayut dingin di hamparan savana yg jauh dari polusi.
Rupanya Tuhan tahu harapan itu dan tepat setelah tenda dirikan di kawasan camping ground yang disediakan panitia, sebuah notifikasi dari facebook ia buka. “Kalau lagi diskusi, baku sogol, ba susupo positif dengan kawan-kawan, yah selalu lupa waktu, sambil menikmati secangkir kopi Ngamba Kampai Behoa yang diproduski anak muda Desa Hanggira”, begitu pesan tersebut lengkap dengan foto produk kopi yang sudah dikemas berlatar persawahan dari Chymenk Chymenk.
Chimenk adalah aktivis perempuan, pemerhati budaya dan juga penggerak anak muda di desa itu. Basri mengenalnya ketika ia bersama anak muda di desa itu menggelar Kemah Budaya dua tahun lalu, tempatnya di sekitar megalit Tadulako itu juga.
Si empunya Kopi Ngamba, Angky bercerita tentang inisiatif memproduksi Kopi Ngamba itu. “Saya ingin mengembalikan kejayaan kopi dari Lembah Lore ini,” kata Angky memulai ceritanya. Ia mengaku lahir, tumbuh, dan besar serta dapat mengenyam pendidikan dari kopi yang dihasilkan dari kebun kopi orangtuanya dulu.
“Dulunya, orang-orang disini adalah petani kopi, termasuk bapak saya. Setelah kakao masuk, hampir semua tanaman kopi ditebang dan diganti dengan kakao. Nah sekarang kakao kurang menjanjikan lagi sehingga orang-orang kembali menanam kopi yang sesungguhnya adalah pekerjaannya memang begitu dulu,” terang Angky.
Lanjut pemuda 28 tahun ini, kopi dari Lembah Lore cukup dikenal. Ia khas dengan cita rasanya dan tidak saja dikonsumsi oleh warga setempat tapi juga dikirim ke luar melalui perdagangan. Kopi tidak saja menjadi ritual khas setiap ada hajatan, tapi juga menjadi jamuan wajib bagi setiap pertemuan, terlebih bagi tamu-tamu yang berkunjung ke desa.
Dinas Perdagangan dan Perindustrian Sulawesi Tengah menyebutkan, luas dan produksi tanaman kopi di Kabupaten Poso saat ini mencapai 1.266 hektare dengan jumlah produksi 737 ton per tahun. Khusus jenis kopi Arabica luas arealnya baru sekitar 257 hektare dengan produksi 147 ton per tahun.
“Kenapa harus mengonsumsi kopi dari luar kalau kita punya kopi sendiri yang di masa lalu sangat dihargai dan bahkan menjadi budaya kita,” tandas Angky.
Dari situlah Angky memulainya. Kebun pemberian orang tuanya yang sebelumnya ditanami jagung dan rupa-rupa tanaman palawija disulap menjadi areal kebun kopi. Kebun kopi itu dalam ukurannya tidaklah luas, namun cukuplah katanya untuk memulai pengembalian kejayaan kopi Lembah Lore itu.
Umumnya kopi yang ditanam warga setempat adalah jenis Robusta. “Tapi jenis Arabica juga dapat tumbuh dengan baik di lembah ini,” kata Kang Ade, pegiat kopi yang banyak mendampingi petani kopi di berbagai wilayah di Kabupaten Poso dan Sigi dan secara kebetulan juga hadir di momentum itu.
“Anak-anak muda di sini punya latar belakang perkopian dari orang-orang tuanya dulu, sehingga hanya dengan sedikit sentuhan saja, seperti teknologi, processing, pascapanen, mereka akan dapat menjadi petani kopi dan mungkin juga pebisnis kopi yang handal,” kesan Kang Ade.
Lain halnya dengan Irma, jurnalis perempuan dari media alkhairat menuliskan pengrajin anyaman rotan yang kesulitan terkait bahan baku dan minimnya perhatian pemerintah terkait pengrajin seperti kisah Aifon, salah satunya, seorang pengrajin berusia 32 tahun yang penuh semangat, berusaha melestarikan tradisi dan keindahan kerajinan khas daerah Lembah Behoa. Namun, dalam perjalanannya tidaklah mudah dan mulus. Dia dan temannya menghadapi berbagai kendala yang menguji ketekunan dan kesungguhan mereka.
keterbatasan dana juga menjadi tantangan serius bagi pengrajin ini. Tanpa sumber dana yang memadai, mereka sulit untuk mengembangkan usaha mereka dan memperluas jangkauan pasar.
Menurutnya, setiap pemasukan dari penjualan kerajinan hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sementara impian mereka untuk mengembangkan potensi bisnis mereka terasa semakin jauh.
Meski menghadapi keterbatasan, pengrajin-pengrajin ini tetap bersatu dan saling mendukung. mereka berbagi pengalaman, keterampilan, dan semangat yang sama. Meskipun ruangnya terbatas, mereka mencoba semaksimal mungkin untuk menciptakan kerajinan yang bernilai.
Aifon berharap adanya kendala tersebut dapat menjadi perhatian khusus oleh pemerintah melalui instansi terkait, sehingga para pengrajin di lembah Behoa kecamatan Lore tengah kabupaten Poso tidak punah ataupun hilang karena tidak adanya perhatian dari pemerintah.
Kredit Photo : BMZ
Kredit Photo : Rexi
Penulis :Rexi